Sosok Mamat Jalil (Serentang Impresi dari Kekariban Sahabat)

Discovery Malut
Senin | 05 Juni 2023, 20:32

Sosok Mamat Jalil  

(Serentang Impresi dari Kekariban Sahabat)

Irfan Ahmad

[Staf Pengajar Ilmu Sejarah-FIB Unkhair; Peneliti Yayasan The Tebings]


Aristoteles pernah berkata, (menjadi) teman adalah pekerjaan cepat. Sementara persahabatan adalah pematangan buah lambat. Saya sengaja mengutip ini di awal, untuk meyakinkan bahwa persahabatan saya dengan Mamat Jalil, seorang sahabat yang akan saya ceritakan berikut ini, telah menempuh perjalanan panjang dalam waktu yang tak singkat dan tetap terjalin dalam kekariban sampai saat ini. Dengan begitu, pernyataan-pernyataan saya yang segera mengalir tentangnya, bukan serupa himne yang dimuati puja-puji sarat pamrih. Bukan pula gita puja dengan pernyataan tak berdasar, melainkan waktu dan kebersamaan (sepanjang melintasi linimasa itu) yang memuarakan semua kesan (impresi) tentangnya, yang sebagian di antaranya akan saya urai di sini.  

Meski saya berusaha menyampaikannya dengan sangat objektif, kesulitan menghindari subjektivitas dalam penuturan ini, sangat mungkin terjadi.  

Mamat Jalil, memulai karir formalnya sebagai dosen di Program Studi Sastra Indonesia di Universitas Khairun. Terdaftar sebagai pegawai negeri pada tahun itu, ia menggeluti tugas-tugas pokoknya sebagai akademisi di perguruan tinggi, yang juga menjadikannya alumnus. Dalam perjalanan pendidikannya, ia pernah mengenyam ilmu di Pascasarjana Universitas Indonesia. 

Berlatar belakang pegiat seni-budaya di masa lampau—dan terus bertahan hingga saat itu—ia seolah mendapat pijakan kukuh ketika menjadi dosen. Jiwa pengabdian, salah satu tugas pokok dosen dalam tridharma perguruan tinggi, makin bergelora di dalam dirinya. Kepedulainnya pada isu-isu lokal terkait seni dan budaya di Maluku Utara terus berkecamuk. 

Seni (dan budaya) dan politik adalah dua ranah dengan kompleksitas isu dan permasalahan yang bersengkarut membawa seorang Mamat Jalil ke dalam pusaran politik praktis sesungguhnya. Ia pun menetapkan hati terlibat langsung dalam proses politik lokal. Ia memilih mengabdikan dirinya di daerah tempatnya lahir dan besar, Halmahera Timur. Melalui lembaga KPU di kabupaten ini, ia aktif selama dua periode. Ia juga dipercayakan sebagai Ketua KPU Halmahera Timur selama periode keduanya (2019-2023).

Integritas Tinggi: KPU Halmahera Timur sebagai Wahana

Dalam berbagai perbincangan saya dengannya, Mamat, begitu ia akrab disapa, tampak integritas bercokol kuat dalam dirinya. Tentu saja ini tidak mengherankan sebab idealisme sebagai pegiat seni dan sebagai akademisi telah membentuknya sedemikian rupa. Baginya, nilai-nilai integritas tidak hanya sekadar cita-cita belaka, melainkan harus memancar keluar dalam perbuatan dan tindakan serta menuntun setiap keputusan di dalam praktik luas kehidupan, terutama dalam ranah perpolitikan kita. 

Terpilih sebagai salah satu komisioner KPU Kabupaten Halmahera Timur, ia memiliki ruang untuk mewujudkan idealismenya tentang integritas. Selama berada di lembaga ini, Mamat menentang tegas korupsi dalam segala bentuknya. Ia menekankan pentingnya kejujuran dan kedisiplinan dalam menjalankan tugas-tugas lembaga. Mamat mengikis, jika bukan menutup jalan, ‘campur tangan’ penguasa dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah dan Pemilihan Umum di wilayah kerjanya. 

Bermodalkan integritas inilah, Mamat Jalil memantapkan kembali jalannya menuju KPU Halmahera Timur periode 2019-2023. Tidak hanya berhasil ‘tiba dengan selamat’, perjalanan akhirnya mengukuhkan dirinya sebagai Ketua KPU Halmahera Timur selama periode itu. 

tidak diketahui.png
(Komisioner KPU Halmahera Timur periode 2014-2019 dan 2019-2023)

Menuju Kursi Legislatif, Berharap Perjuangan Lebih Nyata

Menjalani tugas-tugas di lembaga penyelenggaran pemilu melalui KPU kabupaten Halmahera Timur, Mamat menjadi semakin paham bagaimana mesin politik berputar, sementara aspirasi rakyat seolah bergeming. Padahal, tanpa rakyat, pemerintahan tak mungkin ada. Begitu ia berpikir. Karena itu, seiring masa-masa akhir jabatannya sebagai Ketua KPU Halmahera Timur, ia bertekad melangkah lebih jauh di panggung politik dengan basis tekad kuat tentang perjuangan aspirasi rakyat di daerahnya (Halmahera Timur). Pilihan langkah ini memang tak mudah baginya.

Beberapa hal tertentu terkait keputusan penting dalam hidup, Mamat tidak mau egois. Baginya, ‘demokrasi’ itu bermula dalam diri sendiri dan dipraktikkan dalam lingkup kecil suatu unit sosial (politik) bernama keluarga. Meski secara rasional sudah ia tinjau dan dipertimbangkan secara matang, ia tetap merasa harus melibatkan pertimbangan keluarganya tentang tekadnya menapak jalan ke perebutan kursi calon legislatif di daerahnya. Disampaikannya rencana itu kepada istri, anak-anak, ibu, dan keluarga luasnya. Restu penuh dari keluarga diraih, dan ini menjadi suluh bagi perjalanannya ke depan. Tumbuh besar dalam keluarga yang sederhana, kemandirian dan sikap bertanggung jawab adalah hasil dari tempaan kondisi itu.

Konsisten pada rencana, keputusan penting harus diambil untuk memulai langkah panjang. Untuk menjadi seorang calon legislatif, ia harus melepaskan dirinya secara formal dari statusnya sebagai seorang seorang dosen. Regulasinya menetapkan demikian. Bersamaan dengan itu, ia juga harus mundur dari KPU Halmahera Timur (di mana Mamat duduk sebagai ketua komisioner!). 

Melalui  Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Mamat akan berkompetisi sebagai calon Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di wilayah Daerah Pemilihan (Dapil) 1 Kabupaten Halmahera Timur.

tidak diketahui.jpg
(Mamat Jalili, calon DPRD Dapil 1, Kabuapten Halmahera Timur)

Kepedulian Sosial

Setelah mengundurkan diri dari KPU Halmahera Timur, semangat berkesenian dan minatnya pada isu-isu kebudayaan serta berbagai permasalahan sosial, seperti kian membuncah. Ia membutuhkan sungai untuk mengalirkan kegelisahan itu mulai dari bentuknya berupa ide hingga aksi nyata di masyarakat. Pilihannya, bergabung ke dalam Yayasan The Tebings.

Yayasan The Tebings adalah yayasan yang menjadikan kebudayaan sebagai fokus dan lokus perhatiannya. Yayasan yang diinisiasi oleh personil yang berasal dari Fakultas Ilmu Budaya  Universitas Khairun ini, membuat Mamat tidak asing dengan orang-orang yayasan. Begitu juga sebaliknya, Mamat juga bukan orang baru di mata sebagian besar personil yayasan. Salah satu program Yayasan The Tebings saat ini program pemberdayaan komunitas adat terpencil di Maluku Utara. Salah satu wilayah programnya adalah Kabupaten Halmahera Timur, di mana kajian dan pemberdayaan pada orang Togutil dilakukan bersama-sama Yayasan The Tebings, Kemensos RI, dan Pemerintah Daerah Halmahera Timur. 

Sebagai putera daerah yang memahami dengan baik wilayah dan masyarakat Halmahera Timur, Mamat berhasil meyakinkan Yayasan The Tebings untuk berprogram di kabupaten ini. Dengan tetap mengacu pada program pemberdayaan komunitas adat terpencil (PKAT) dari Kemensos RI, kajian terhadap warga KAT di Halmahera Timur pun dilakukan. Tentu saja berkat dukungan penuh dari pemerintah kabupaten Halmahera Timur juga. Tujuan program ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dalam hal ini warga KAT, melalui penataan permukiman dan perumahan warga berdasarkan budayanya, serta mengupayakan penghidupan layak untuk mewujudkan pembangunan yang merata tanpa memandang keterpencilan geografis dan kondisi sosial budaya warga masyarakat marginal.

tidak diketahui_1.png
Diskusi bersama Pembina dan ketua Yayasan The Teebings Maluku Utara

Sekadar gambaran, berdasarkan hasil Rekapitulasi Data Persebaran Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil Tahun 2020-2024, Kemensos RI merangkum bahwa di Provinsi Maluku Utara terdapat sebanyak 5.206 kepala keluarga (KK) warga KAT. Warga KAT di Kabupaten Halmahera Timur tersebar di lima kecamatan, yakni Maba, Maba Tengah, Maba Utara, Wasile Selatan, dan Wasile Utara pada sebanyak 14 desa. Sebanyak 443 jiwa warga KAT tersebar di 19 lokasi dari 14 desa tersebut. Warga KAT di Kabupaten Halmahera Timur merupakan orang Tobelo Dalam (Togutil) yang tersebar di lokasi-lokasi yang terdata. Beberapa di antara mereka masih hidup berpindah-pindah, atau setengah menetap. Ketertinggalan warga KAT (Togutil) seringkali mendatangkan permasalahan yang selain berdampak (negatif) kepada warga itu sendiri, juga menjadi permasalahan tersendiri bagi pemerintah daerah. Berdasarkan informasi yang dimiliki Yayasan The Tebing, maka studi Inventarisasi Data Komunitas Adat Terpencil (KAT) dilakukan di Desa Dorosago dan Desa Lili, Kecamatan Maba Utara, Kabupaten Halmahera Timur dan akan berlangsung sejak 2023-2024.

tidak diketahui_2.png
(Foto Bersama Tim Yayasan The Tebings dan salah satu Warga Togutil di Dusun Mabulan, Mei 2023).

Dosen: Pengajar Aktif dan Peneliti Tekun

Setelah menyelesaikan studi jenjang strata satu (S1) pada tahun 2007 di Unkhair, pria yang lahir dari ibu asal Bicoli dan ayah dari Maba ini, diterima sebagai dosen PNS di jurusannya pada tahun 2008.

Meski sibuk menjalankan tugas-tugasnya sebagai seorang dosen pada masa itu, dengan kungkungan keterbatasan materil (upah dosen kala itu tidak sebesar saat ini), gairah berkesenian dalam dirinya tak redup sama sekali. Nyala semangatnya dalam hal ini menyuar di media cetak lokal, diantaranya Harian Malut Post dan Mimbar Kie Raha. 

Sebagai dosen, selain aktif mengajar, Mamat juga terlibat sebagai personil dalam beberapa tim penelitian tentang masyarakat dan kebudayaan Maluku Utara bersama kolega dosennya di Universitas Khairun. Diantaranya penelitian itu adalah, “Inventarisir dan Dokumentasi Benda-benda Cagar Budaya (BCB) di Provinsi Maluku Utara dan Papua (2007-2008); Persepsi Ragam Komunitas Benteng Orange sebagai Benda Cagar Budaya (2008); Profil Sejarah Budaya Kabupaten Halmaharea Timur (2008); Studi Pengembangan Kepariwisataan dan Identifikasi Pengembangan Masyarakat di Sekitar Obek Wisata di Maluku Utara (2008); Profil Kabupaten Halmahera Barat (2009); Profil Kepulauan Sula (2010), dan Profil Kabupaten Halmahera Tengah (2010)”. Dalam hal penelitian, paling terbaru yang melibatkan dirinya adalah ”Penyusunan Sejarah Perjuangan Pembentukan Kabupaten Halmahera Timur” (2023).  

tidak diketahui_3.png
Mendampingi pemerhati sejarah asal Jerman dan Belanda (Matahati, 2008)

“Matahati”: Wadah Menggiati Seni dan Kebudayaan 

Mamat adalah salah satu pendiri lembaga Matahati (2005—2011), suatu lembaga yang terutama memfokuskan diri pada isu-isu kesejarahan, kebudayaan, dan kesenian di Maluku Utara. Lembaga yang menghimpun anak muda dengan gagasan dan sikap kritis terhadap realitas dan kebijakan dalam ketiga ranah di atas, dijalankan dalam ragam model kegiatannya. Mulai dari bentuknya berupa diskusi hingga aksi-aksi (kebanyakan dalam bentuk teatrikal), lembaga ini tampil nyentrik pada masanya. 

Program “Diskusi Secangkir Kopi”, yang dihelat Matahati semasa dinakhodai Budi Janglaha (Jojo), menampilkan lembaga ini dengan haluan utama pada adu gagasan dan berkesenian yang dikemas dalam bentuk diskusi rutin.

tidak diketahui_4.png
(Mamat dan Jojo mendiskudikan kasus benteng pemugaran benteng Kastela dan benteng Oranje kepada Hans Bonke, Peneliti Belanda dan Ibu Linda, perwakilan dari IAI-Jakarta)

Diskusi mingguan melalui “Diskusi Secangkir Kopi”, selalu mengemas topik hangat dan aktual, tanpa tercerabut dari esensi kesenian dan kebudayaan, selalu menghadirkan pembicara kompeten dalam bidangnya. 

Mamat dan Jojo juga memiliki inisiatif “Ngamen Buku” dengan cara menggelar pertunjukan seni di jalanan Ternate kala itu. Hasilmya digunakan untuk mendirikan Kampung Baca Maitara (KABATA) dengan tujuan mewujudkan generasi muda yang berpengetahuan, berketerampilan, maju, dan mandiri melalui kegiatan membaca.

tidak diketahui_5.png
(Kampung Baca Maitara (Kabata) dan diskusi “secingkir kopi’)

Mamat selalu diidentik dengan lembaga Matahati. Aksi-aksi kebudayaan yang dilakukan oleh Matahati terkait dengan pemugaran benteng Kastela, Oranje, dan benteng Tjobe (Rum) mendapat dukungan dari banyak pihak (termasuk lembaga bernama Makuwaje). Bahkan, di ulang tahun yang ke-4 Makuwaje, secara khusus mengundang Matahati dan dipercayakan melakukan parodi dan teaterikal dengan tema “Tikus Kantor” yang diselenggarakan di Hotel Ayu Lestari (2009). Mamat juga terlibat aktif dalam mengsuksesi “Pembacaan Puisi 100 jam” yang diselenggarakan oleh Matahati untuk memecahkan Rekor Muri, yang sebelumnya telah dilakukan di Gorontalo (75 jam).

tidak diketahui_6.png
(Teraterikal jalanan protes pemugaran benteng dan Pembacaan 100 jam Puisi. Ternate, 2007)

Aktif Berkesenian, Kreatif Berkarya, Kritis Bersikap, tapi Tetap Rendah Hati

 Era 2000’an mahasiswa Universitas Khairun tidak asing dengan nama Mamat Jalil. Ia—merupakan salah satu mahasiswa yang memiliki kemauan menulis dan membaca puisi yang saat itu jarang digemari oleh mahasiswa. Sekalipun dunia kepenulisan saat itu tidak diminati banyak kalangan, namun Mamat terus belajar menulis dan membaca puisi. 

Dalam beberapa kesempatan, saya sering berkunjung dan melihat-lihat buku-buku koleksi Mamat. Di antara buku-buku yang ada, termasuk banyak terdapat buku-buku puisi karya Widji Thukul dan W.S Rendra. Menurut Mamat, kedua tokoh itu menjadi idola karena karya-karya mereka adalah simbol perlawanan, suatu kata yang begitu melekat dengan mahasiswa  dan menjadi slogan-slogan aksi. 

Aktivitas berkesenian yang dilakukan Mamat tidak saja di lingkungan kampus. Sebagai seorang penulis puisi dan pengagum Widji Thukul dan W.S Rendra, sejak menjadi mahasiswa, Mamat peka terhadap kondisi sosial, memiliki kepedulian, dan  solidaritas persaudaraan yang kuat. Semua itu dibuktikan dengan karangan beberapa puisinya dan pilihan puisi-puisi yang dibacakan di berbagai kesempatan. 

Mamat, seorang sahabat yang saya kenal sekira 21 tahun lamanya, memiliki talenta dan meraih pencapaian yang cukup mengesankan semasa mahasiswa. Dengan kesederhanaan, suka bergaul, dan ramah kepada siapa saja tanpa melihat ras, agama, dan suku membuat lelaki kelahiran Bicoli ini diterima hampir di semua kalangan termasuk saya yang paling junior, waktu itu. 

Di kampus, Mamat selalu berbeda dengan mahasiswa lainnya ketika mengkritisi kebijakan kampus. Ia selalu hadir dengan puisi dan teaterikal yang kritis dan mendapat simpati dan dukungan dari berbagai teman-teman terutama dari kalangan Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Khairun. 

tidak diketahui_7.png
(Teaterikal 10 Tahun Reformasi, Mahasiswa Sastra dan Budaya di Kampus II Gambesi)

Aktivitas berkesenian membuat Mamat Jalil pernah dipanggil oleh Dra. Rainannur A. Latif, Dekan Sastra dan Budaya,  karena mengkritik pemerintah melalui kampus pada saat Pemilu 2004. Pemilu kala itu menjadi momentum pertama bagi rakyat memilih langsung wakil mereka untuk duduk di DPR, DPD, DPRD serta memilih langsung Presiden dan Wakil Presiden (2004). 

Dalam kasinya kala itu, Mamat melakukan aksi teaterikal, pembacaan puisi, dan monolog di halaman parkir universitas. Pertunjukan yang dilakukan oleh Mamat beserta teman-teman mahasiswa sastra kala itu adalah pertunjukan seni yang pertama kali di lingkungan kampus, sejak pertunjukan seni terakhir kalinya pada era 1980’an. Akibat aksi itu, Mamat dipanggil oleh pimpinan fakultasnya karena ruang-ruang kelas kosong mahasiswa karena mengikuti aksi yang digelar oleh Mamat dkk. 

Kepedulian Mamat terhadap kemanusiaan juga ditunjukkan saat terjadinya tsunami di Aceh pada tahun 2004. Bencana yang meluluh­lantak­kan Aceh ini tak luput dari perhatiannya. Mamat yang saat itu aktif sebagai pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Sastra dan Budaya, memiliki inisiatif menurunkan mahasiswa untuk melakukan penggalangan dana untuk membantu para korban. Hal yang sama dilakukan ketika terjadi Gempa Bumi Sumatra Barat (2009). Penggalangan dana yang dilakukan saat itu sekitar satu minggu dengan cara yang berbeda. Pentas seni, pembacaan puisi, monolog, dan teaterikal jalanan menjadi khas dan penciri dari mahasiswa Fakultas Sastra dan Budaya Unkhair. 

tidak diketahui_8.png
(diskusi dan aksi teterikal jalanan yang dilakukan oleh teman-teman Matahati dan Fakultas Sastra dan Budaya)

Semasa mahasiswa, Mamat sempat menjadi delegasi Sastrawan Muda dari Provinsi Maluku Utara, pada pertemuan Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) di Samarinda Kalimantan pada tahun 2007. Mastera adalah sebuah majelis yang didirikan dengan tujuan untuk meningkatkan kreativitas penulis-penulis muda khususnya bidang kesusastraan di Asia Tenggara. 

Selama kegiatan Mastera berlangsung, Mamat sempat menulis sebanyak lima karya puisinya. Melalui puisi itu, ia menceriterakan kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang terjadi di Maluku Utara. Ia pun dipercayai untuk tampil membaca puisi mewakili kalangan sastrawan muda. Talenta yang dimiliki, membuat takjub setiap rangkaian kata-kata yang disampaikan. Sejak saat itu, Mamat Jalil dikenal dengan panggilan “Mahmet”. Nama ini diberikan oleh Asep Azam-Aam Noor (sastrawan dan pelukis Indonesia) karena terkesima dengan keindahan kata pada setiap bait puisi yang dibacakan oleh sosok anak muda kelahiran Bicoli itu. Lima puisi Mamat Jalil kemudian diterbitkan bersama teman-teman sastrawan Asia Tenggara lainnya dengan judul: Ibu Kota Keberaksaraan (The 2nd Jakarta International Literary Festival, 2011).

tidak diketahui_9.png
Foto bersama Radhar Panca Dahana (Sastrawan dan Budayawan Indonesia)

Masa pemerintahan Wali Kota Ternate, Syamsir Andili  (2005-2010), Mamat memiliki gagasan untuk tampil di luar kampus dengan Teaterikal Jalanan sebagai wadah mengkritisi kebijakan pemerintah Kota Ternate dan Provinsi Maluku Utara. 

Mamat yang sangat aktif dalam berkesenian, membuat jiwanya merdeka, kritis, dan peka realitas sosial. Saya ingat persis, ketika Mamat sempat mendapat julukan sebagai “W.S Rendranya Maluku Utara” oleh beberapa kalangan. Ini berkat kemampuannya membaca puisi dan monolog, serta terlibat langsung dalam berbagai teaterikal jalanan. Meski demikian, Mamat tidak ingin orang menyapanya dengan julukan itu. Dengan segala kerendah-hatian yang meresap dalam dirinya, ia tetap ingin menjadi dirinya sendiri melalui aktivitas, karya, dan perjuangan-perjuangannya.

Berjejaring Demi Kesenian

Mamat menyadari betul bahwa kepedulian bersama langkah-langkah nyata untuk kepedulian dan pemajuan kesenian dan kebudayaan daerah ini haris dilakukan secara sinergis, kolaboratif, dan tak kenal lelah, apalagi menyerah. 

Karena itulah, di waktu lalu, ia bersama kawan-kawannya pernah mendirikan Komunitas Siloloa. Lembaga yang konsen utamanya dalam kesenian ini didirikan bersama-sama dengan Almin Usman (almarhum) dan Hasan Ali (pernah dikenal sebagai ‘Ata Fals’, dan kini masyhur dengan ‘Ata Deng Kofia’, juga tetap konsisten pada aktivitas berkesenian).  

 Ata yang lihai memainkan gitar dan talentanya bernyanyi sering mengiringi pembacaan puisi di beberapa kegiatan yang bertajuk “Kesenian dan Kebudayaan Ternate”. Memiliki segudang pegalaman dan ilmu yang dimiliki, Mamat dan Ata Fals kemudian memiliki inisiatif melatih anak-anak muda Maluku Utara yang meminati kesenian Maluku Utara. Berbekal ilmu yang dia dapatkan di bangku kuliah dan dukungan pengalaman yang ia petik selama bersama Bang Ari (Zainudian M. Arie) di Teater Anak Bangsa, aktivitas itu dijalankan. Sayangnya, Komunitas Siloloa pada akhirnya tidak berjalan lancar sesuai rencana awalnya. Setelah meninggalnya Almin Usman dan kesibukan personil utama dari Komunitas Siloloa, perlahan lembaga ini surut lalu karam kemudian. Meski demikian, semangat dan keberpihakan pada pembangunan kesenian mereka untuk generasi mudan dan daerah ini tak pernah pudar apalagi padam sama sekali. Perjuangan punya banyak jalan, meski tujuan tetaplah satu. 

Selamat berjuang sahabat!

Moga sukses dan terpilih jadi wakil rakyat yang merakyat, yang konsisten membela kepentingan banyak orang, yang memperjuangkan perubahan, demi bangsa!

Penulis
Irfan Ahmad

Penyunting
Andi Sumar Karman

Related News

Comment

Latest News